Showing posts with label features. Show all posts
Showing posts with label features. Show all posts

Thursday, 1 November 2018

Apa Iya Perempuan Harus Sekolah Tinggi



 Apa iya perempuan harus sekolah tinggi? Untuk apa? Toh tugas utamanya adalah di rumah. Mending ga usah sekolah!
***

“Jadi Perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Toh mau di rumah juga.” Pertanyaan yang sering perempuan terima, saat ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak hanya dari tetangga, eyang, mbah tetapi juga kita terima dari orangtua. Perempuan dan sekolah tinggi seperti kendala yang tak habisnya.

“Nak. Kamu itu perempuan, tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Bisa baca tulis saja sudah cukup. Tugasmu yang paling penting itu ada dua. Melayani suami dan mengurus anak.”

Demikian pernyataan orangtua kita.

Serupa tapi tak sama, ada pula pernyataan yang membandingkan seseorang dengan perempuan berpendidikan tinggi di lingkungan mereka.

“Lihat itu si Ani, sudah sekolah tinggi-tinggi tapi ngak kerja juga. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau mau di rumah juga ngurus anak.”

Ada juga yang berpendapat seperti ini. “Perempuan kalau sekolah tinggi-tinggi susah cari jodoh. Ijazah SMA saja cukup!”

Sejak dulu, perempuan dan sekolah tinggi memang sering dibentur-benturkan. Mengapa? Sekolah secara umum bukanlah sesuatu yang bergender. Sekolah sejatinya ada untuk segala kelompok, ras, agama dan tanpa memandang jenis kelamin.

***

Sebelum lebih jauh, mari kita samakan dulu persepsi. Sekolah yang akan dibahas adalah sekolah tinggi. Bukan pendidikan dasar seperti Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.

Sekolah dalam artian pendidikan dasar tak perlu diulas karena merupakan hak seluruh warga negara yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31. Itu artinya, sudah menjadi hak bagi setiap warga negara termasuk perempuan untuk mengenyam pendidikan sekolah dasar. Tidak ada pengecualian untuk hal ini. Titik.

Sekarang mari kita bicarakan tahap pendidikan lebih lanjut. Pendidikan tinggi dengan berbagai variannya. Ada akademi, sekolah tinggi, perguruan tinggi dan universitas. Jenjang pendidikan mulai dari diploma, sarjana, magister hingga doctor.

Saat ini, masih banyak orang yang melihat pendidikan atau sekolah sebagai formalitas untuk mendapatkan ijazah. Karena itu wajar bila kemudian sekolah tinggi diartikan sebagai tahapan untuk mencari pekerjaan. Artinya, bila mau bekerja di sektor formal harus sekolah tinggi dulu. Pun sebaliknya. Bila sekolah tinggi, berarti seseorang sedang merencanakan untuk mengambil pekerjaan formal.

Perempuan yang melanjutkan pendidikan pun akan diasosiasikan sebagai perempuan yang sedang mempersiapkan diri untuk mendapatkan pekerjaan formal. Pada titik inilah kemudian timbul berbagai pendapat seperti yang muncul di awal tulisan. “Jadi perempuan untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya di rumah juga.”

Atau diam-diam pertanyaan serupa justru datang dari dalam diri sendiri. Ketika jenuh melanda, lalu pemikiran tentang eksistensi menyapa. Ketika mata tertumbuk pada berkas ijazah yang duduk manis di lemari.

“Untuk apa saya sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya saya di rumah juga?”

Hmm, mari menemukan jawaban atas pertanyaan serupa tapi tak sama tentang pentingkah perempuan sekolah tinggi ini. Benarkah sekolah tinggi hanya sebuah formalitas untuk mendapatkan tujuan tunggal, berkarir dan bekerja formal meninggalkan rumah?

Untuk Apa Sekolah Tinggi?


Terlepas apakah seorang perempuan memilih berkarir di luar rumah atau hanya mengurus rumah tangga, semua sepakat bahwa perempuan juga punya peran ganda. Pada waktunya, perempuan akan menjadi istri, ibu, serta menjadi pribadi mandiri untuk dirinya.

Seiring berjalannya waktu, kehidupan pun akan membawa perempuan pada jalan panjang. Hamil, melahirkan, lalu membesarkan anak-anak. Di sinilah peran pendidikan tinggi akan sangat berguna bagi seorang perempuan. Tak lagi sekadar formalitas untuk mendapatkan karir.

Pada dasarnya, sekolah tinggi tentu saja bukan formalitas belaka. Pendidikan tinggi sejatinya adalah ladang bagi seseorang untuk menambah ilmu dan wawasan. Menempa diri menjadi pribadi lebih tangguh dan mandiri. Berguru pada alam, memperluas pengalaman. Lahan untuk pendewasaan.

Berbagai latar belakang manusia yang ditemui, berbagai peristiwa yang dijalani selama menempuh pendidikan tinggi akan membuat seseorang menjadi lebih bijak dalam menyikapi hidup. Seorang yang hanya ngampus-kos-ngampus-kos karena menganggap sekolah tinggi adalah formalitas mendapatkan ijazah dengan seseorang yang aktif di berbagai kegiatan akan memiliki pola pikir berbeda dalam memaknai hidup dan kehidupan.

Kelak, ketika tamat, ilmu kehidupan inilah yang membuat para perempuan menjadi semakin tangguh. Menjadi lebih mudah mengerti dan beradaptasi dengan lingkungan. Menjadi lebih bijak dalam menyikapi perubahan. Ilmu alam yang tak akan didapat bila tak melewati jalan hidup yang panjang melalui sebuah media bernama sekolah tinggi.

Lalu masihkah kita ragu dan bertanya dalam hati untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Mari melihat lebih luas, pada kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika anak beranjak besar, biasanya mereka akan bertanya ini dan itu. Anak saya, si sulung Bintang yang bakal berusia 4 tahun sudah mulai bertanya ini dan itu. Ketika diajak menyanyikan lagu Hari Merdeka misalnya dia beberapa kali nyeletuk.

“Merdeka itu apa Ma.”

Atau di lain kesempatan dia bertanya “menara itu untuk apa?” Setelah dijawab dia akan memberondong dengan pertanyaan lanjutan “Sinyal itu seperti apa?”

Maka ibunya yang baru lulusan sarjana akan gelagapan dan putar otak untuk mencari jawaban terbaik. Itu baru pertanyaan anak yang belum berusia 4 tahun. Bayangkan bila nanti ia sudah SD, SMP, SMA dan bahkan kuliah. Apalagi di era teknologi sekarang.

Ketika SD ia akan bertanya tentang cara membuat email. Ketika SMP mungkin dia akan bertanya bagaimana mengoperasikan sebuah program computer.

Saya sering melihat anak SMP dan SMA yang begitu bebas menggunakan media sosial dengan anggapan toh orang tuanya tak akan tahu. Yess. Si ibu anak tersebut memang termasuk gagap teknologi sehingga tak bisa mengimbangi perkembangan teknologi informasi.

Termasuk juga dalam hal pendidikan. Setiap orangtua yang sudah memiliki anak usia sekolah pasti tahu bahwa pelajaran anak-anak sekarang jauh berkembang dibanding saat kita bersekolah dulu. Karena itu sering kali para orang tua khususnya ibu gelagapan ketika mendampingi anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah mereka.

Di sinilah peran pentingnya pendidikan tinggi untuk para perempuan. Perempuan yang akan menjadi ibu, pendamping dan teman untuk anak-anak. Bahwa membesarkan anak-anak di era yang begitu kompleks, butuh ibu, orang tua yang bijak dan bisa berpikir cepat. Ibu yang arif dan memiliki pengalaman hidup yang luas. Perempuan dan sekolah tinggi itu harus.

Pengalaman yang akan didapat bila ia menempuh pendidikan tinggi. Memiliki pengalaman yang banyak untuk membesarkan generasi yang tangguh pula.

So. Masihkah kita berpikir bahwa menjadi perempuan tak perlu sekolah tinggi. Atau masihkan terbersit penyesalan di hati ketika melihat ijazah yang tersimpan rapi dan hanya menjadi ibu rumah tangga biasa? Untuk apa sekolah tinggi kalau akhirnya hanya jadi ibu rumah tangga mengurus anak dan keluarga?

Dan, tahukah temans, jauh sebelum cibiran tentang perempuan dan sekolah tinggi ini meluas, Raden Ajeng Kartini sudah menulis. Ia dengan terang benderang menyatakan bahwa perempuan harus sekolah. Dan emansipasi seperti yang digaungkan Ibu Kartini itu, tak melulu tentang perempuan bekerja seperti yang selama ini sering tersiar.

“Apabila kami di sini minta, ya mohon, mohon dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukanlah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini.”

“Melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang datang dari kaum perempuan. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh Ibu Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik umat manusia yang utama,”

Dinukil dari kumpulan surat RA Kartini, ditulis pada 4 Oktober 1902.

***


Thursday, 11 October 2018

Karena Rokok Memang Harus Mahal




Pernahkah temans memperhatikan fenomena di masyarakat kita, saat orang lebih memilih membeli rokok daripada membeli lauk, daging dan ikan? 


***


Pada suatu siang yang panas, saya pernah terlibat pembicaraan dengan seorang Bapak. Dari pembawaanya, ia terlihat sudah berumur. Kalau saya tebak sudah di atas 50 tahun. DI usianya yang tak lagi muda, Bapak itu masih membanting tulang untuk menghidupi keluarga. 


Saat bertemu dengan saya, ia tengah istirahat tak jauh dari teras sebuah toko. Kebetulan saya berdiri tak jauh dari tempat Bapak itu duduk. Ia menyandarkan sepatu kulit dan ikat pinggang yang menjadi barang dagangannya ke kaki kursi kayu. 

Tak lama, ia merogoh saku dan mengeluarkan sebungkus rokok. Bungkus itu sudah tak penuh lagi. Dengan anteng ia memantik korek dan menyalakan rokok. 

Dia sepertinya tersadar sedang saya perhatikan. Setelah menghisap rokok beberapa kali ia lalu menyapa.

“Duduk dulu Neng. Apa ga capek berdiri.”

“Tidak Pak. Terima Kasih, saya berdiri saja.”

Saat itu saya tengah menunggu ojek online pesanan datang. Saya memang sengaja berdiri biar tak berada terlalu dekat dengan Bapak yang merokok. Sungguh saya tak mau menjadi korban. Apalagi menderita akibat menjadi perokok pasif. 

Meski begitu, sapaan ramah dari si Bapak membuat saya tergelitik mengobrol dengan dia. Dari pembicaraan singkat siang itu saya tahu bahwa setiap hari ia berkeliling ke banyak tempat membawa sepatu kulit, dan ikat pinggang. Barang dagangan ia ambil dari temannya. 

Menurut si Bapak, setiap hari tak banyak yang bisa ia bawa pulang. Bila beruntung penghasilan bersih bisa Rp50 ribu. Namun bila sedang lengang, ia kadang hanya bisa menjual satu sepatu. Keuntungannya tidak lebih dari Rp20 ribu. Dengan pendapatan itulah ia menghidupi istri dan 5 anaknya. Dua di antaranya masih sekolah. 

Ah, bila dianggap rata-rata Bapak itu berpenghasilan Rp40 ribu sehari untuk menghidupi 7 kepala di Ibu Kota seperti Jakarta. Saya tak bisa membayangkannya. Belum lagi bila penghasilan itu juga harus dialokasikan untuk keperluan sekolah 2 anaknya. 

Dan hal yang paling membuat saya tak habis pikir, di antara minimnya penghasilan, ia masih dengan leluasa merokok. 

“Ya bagaimana Neng. Kalau tidak merokok, Bapak tidak bisa kerja. Bawannya malas aja. Tapi ini Bapak merokoknya sudah sedikit ini, sebungkus bisa buat 2 hari.”

What, sebungkus untuk dua hari disebut masih sedikit. Hmmm. Tapi begitulah faktanya. Saya juga tak mau berdebat dengan si Bapak kecuali melepas senyum kecut. Andai saya kenal dengan Bapak itu secara personal, atau ia adalah salah satu saudara saya, pasti sudah saya ceramahi panjang lebar. 

Sebungkus untuk dua hari menurut saya bukanlah jumlah yang sedikit. Itu artinya setiap hari ia menghabiskan 8-10 batang atau sekitar Rp 10 ribu untuk rokok. Dan bila sehari ia bisa mendapatkan pendapatan bersih Rp 30 ribu, maka 30 persen dari penghasilan hariannya sudah habis hanya untuk rokok. OMG!

Waktunya berhenti merokok

Bapak yang saya temui siang itu tentu saja hanyalah satu contoh. Faktanya, fenomena ini sudah biasa ditemui. Lebih miris lagi karena rokok sudah begitu berpengaruh dalam masyarakat tak hanya kelas ekonomi menengah atas tapi juga ekonomi bawah. 

Bukan rahasia lagi, ada banyak keluarga yang menghabiskan sebagian penghasilan untuk membeli rokok. Data tahunan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mengonfirmasi hal ini dengan menyebutkan bahwa alokasi anggaran rumah tangga miskin nomor dua adalah untuk membeli rokok, yakni 12,4 persen. Itu artinya, uang dan pendapatan  lebih banyak dihabiskan untuk membeli rokok.

Lebih miris lagi, masih merujuk Data BPS, jumlah alokasi untuk rokok ini lebih besar dari kebutuhan untuk lauk pauk dan pendidikan. Data menunjukkan biaya konsumsi rokok sebanyak 4 kali lipat dari biaya pendidikan; dan 3 kali lipat dibanding biaya kesehatan. Hmmm…

Tingkat adiktif sebagian besar masyarakat Indonesia ini memang tak perlu diragukan lagi. Berdasarkan data World Health Organization, pada 2017 Indonesia menempati peringkat tiga dunia jumlah perokok terbanyak. Berada di bawah China dan India.

Data WHO menyebut, jumlah perokok di Indonesia mencapai 35 persen dari total populasi. Angka ini setara dengan 75 juta jiwa. Ah, andai semua perokok mengepung Jakarta, maka tenggelamlah Ibukota dengan jumlah populasi sebanyak itu. 

Dari dulu, bila membahas soal rokok, saya boleh jadi masuk pada kelompok anti rokok garis keras. Bersyukur suami dan keluarga besar juga berada di barisan anti rokok. Namun sayangnya, kami tak bisa menghindar sepenuhnya dari rokok, karena di mana-mana saya dan keluarga dengan mudah bisa terpapar perokok. 

Rasa jengah akan rokok tak melulu tentang besarnya anggaran yang keluar secara langsung untuk membeli rokok. Coba bayangkan bila harus bicara soal kesehatan. Tak butuh waktu panjang membeberkan fakta betapa rokok benar-benar menjadi ancaman serius terhadap kesehatan. Bahkan bila lagi-lagi dihubungkan dengan uang, bahaya rokok dengan segala varian penyakit turunannya terbukti menjadi penyebab anggaran kesehatan terkuras. 




Bisakah tingkat konsumsi rokok masyarakat dikurangi? 


Ini pertanyaan yang mungkin belum menemukan jawaban hingga kini. Memperkuat edukasi masyarakat akan bahaya rokok terhadap kesehatan nyatanya tidak berhasil menurunkan konsumsi rokok masyarakat. 

Beberapa tahun terakhir pemerintah gencar melakukan pengetatan terhadap iklan rokok. Mewajibkan perusahaan rokok memampang bahaya rokok di setiap kemasan, nyatanya tidak membuat orang jera. Kalau Cuma 7 siapa peduli. 

Tak sekali dua kali saya melihat orang-orang langsung memindahkan rokok yang sudah dibeli ke kemasan baru yang bebas dari iklan layanan masyarakat akan bahaya rokok. Kemasan modifikasi dan handmade kini banyak dijual. Atau sekadar menutup gambar ‘horor’ di kemasan dengan kertas apa susahnya. 

Strategi pemerintah menaikkan cukai rokok pun tak membuahkan hasil. Hanya berdampak pada pengusaha rokok dan tidak berpengaruh pada masyarakat. 

Faktanya, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar yang dirilis Kementerian Kesehatan kencenderungan masyarakat untuk merokok dari tahun ke tahun terus meningkat. Penerapan berbagai aturan termasuk makin banyaknya tersedia kawasan tanpa asap rokok nyatanya tak menurunkan jumlah perokok di Indonesia. Angkanya justru meningkat. 

Sumber: data riskesdas kemenkes


Adakah cara lain untuk mengurangi konsumsi Rokok?


Nah inilah dia. Tergelitik akan pertanyaan ini membuat saya bersemangat mendengarkan siaran dari Green Radio. Jumat pekan lalu, 11 Mei 2018, tema yang dihadirkan dalam talkshow ruang publik KBR.id menggugah minat saya untuk turut mendengar. 

Sejak beberapa tahun terakhir, KBR  terutama Green Radio memang menjadi radio favorit saya. Diskusi mengalir dan tema up to date membuka wawasan akan banyak hal. Dibahas dengan perspektif yang berbeda. 

Dan Jumat  pekan lalu tema yang diangkat adalah Perempuan Dukung Rokok Harus Mahal. Saya perempuan, dan pasti saya setuju dengan tema ini. Hal yang membuat saya lebih bersemangat, diskusi pagi itu mjerupakan sesi pertama dari serial #RokokHarusMahal yang digelar jaringan radio KBR.id.  Tema yang sama akan dikupas tuntas dalam beberapa pekan hingga pertengahan Agustus nanti.  

Rokok Harus Mahal


Yap. Rokok harus mahal. Mungkin inilah cara efektif yang kita punya untuk menurunkan tingkat adiksi masyarakat Indonesia akan rokok. Paling tidak, bila rokok mahal, orang akan mulai berpikir ulang untuk membeli dan mengkonsumsi. Kalaupun tak sampai berhenti, paling tidak bisa mulai mengurangi tingkat konsumsi rokok. 

Kenapa rokok harus mahal? Karena sekarang harga rokok di Indonesia sangaaaaaattttt murah. Saking murahnya, anak-anak dan remaja dengan mudah bisa membelinya. Ditambah lagi di Indonesia rokok dengan mudah dan bebas diperjualbelikan di warung dan toko kelontong. 

Harga rokok Indonesia memang murah. Dua pembicara dalam talkshow Ruang Publik hari itu, Communication Manager Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Ibu Nina Samidi dan Wakil Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia IAKMI Riau - Ibu Dr Fauziah M.kes, kompak menyatakan hal itu. Dan sayapun sebagai pendengar 100 persen setuju. 




Menurut Bu Nina, saat ini harga rokok di Indonesia termasuk yang murah di dunia dan juga di ASEAN. Di Indonesia masih ada rokok yang dihargai Rp 5.000,- per bungkus. Selain itu rokok juga bisa dibeli ketengan dengan harga Rp 500,- per batang. 

Angka ini sangat jauh berbeda dibanding negara tetangga. Di Australia, rokok bahkan dihargai pada angka Rp300 ribu. Di Singapura harga rokok rata-rata Rp120 ribu berbungkus. Jauh banget kan bila dibanding harga rokok di Indonesia. 

Menaikkan harga rokok menurut Bu Nina menjadi salah satu cara efektif untuk mengurangi konsumsi rokok masyarakat. Beberapa negara yang sudah mempraktikkan kebijakan menaikkan harga rokok terbukti berhasil menekan angka konsumsi rokok. 

“Semua negara (ASEAN) menaikkan harga rokok secara signifikan, terutama Thailand. Tahun 2014, rokok di Thailand masih >15$/bungkus, sekarang sudah hampir 20$/bungkus. Setelah kenaikan tersebut, mereka mencatat bahwa jumlah perokok menurun. Jadi pengaruhnya efektif.”

Nina Samidi, Communication Manager Komisi Nasional Pengendalian Tembakau

Murahnya harga rokok di Indonesia tak hanya dilihat dari segi nominal. Bu Fauziah mengatakan indikator bahwa rokok murah itu terlihat dari banyaknya anak dan remaja yang membeli rokok. Ketika bertugas di Kabupaten Kampar Riau, Bu Fauziah menyaksikan betapa anak SMP bahkan SD dengan mudah bisa membeli rokok. 

“Pada saat saya penyuluhan ke sekolah, itu anak SMP berpakaian sekolah di luar sekolah santai merokok. Bahkan kemarin barusan, saya melihat lagi di jalan raya, sangat miris kita melihatnya, anak berpakaian SMP dengan santainya mengisap rokok, karena apa? Kata mbak Nina tadi rokok bisa dibeli paket ringan.” 

Dr. Fauziah, M.Kes, Wakil Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia IAKMI Riau

Murahnya harga rokok di Indonesia, ternyata juga dimanfaatkan sebagian orang untuk menangguk untung lebih. Caranya dengan membeli rokok dalam jumlah banyak lalu menjualnya lagi. Di mana? Tidak di Indonesia tapi di luar negeri. Bahkan menurut pengalaman Bu Fauziah, rokok murah Indonesia justru diperjualbelikan di Arab Saudi oleh beberapa Jamaah Haji. Hal itu ia ketahui saat menjadi petugas haji pada 2008. 

Bu Fauziah bercerita, suatu kali saya melakukan pemeriksaan rutin ke kamar jamaah haji, ia menemukan rokok yang begitu banyak di dalam kamar, Ketika ditanya rokok itu untuk apa, ia mendapati jawaban bahwa rokok itu akan dijual. Alasannya harga rokok di Arab sangat mahal. Bisa sampai 6 kali lipat harga rokok di Indonesia. 


Perempuan Dukung #RokokHarusMahal


Sudah jadi rahasia umum, harga barang pokok dari hari ke hari terus naik. Sementara harga rokok? Ah sepertinya hanya merangkak di angka segitu-segitu juga. Dari zaman saya SMA, sampai beranak tiga harga rokok Rp500 per batang masih saja ditemukan. 

Kenapa harga rokok tak mahal? Menurut saya, karena bagi industri rokok yang mereka butuhkan adalah membuat masyarakat semakin adiktif. Jadi semakin masyarakat candu merokok maka akan semakin banyak rokok yang dikonsumsi. Jadi biarpun harga rokok segitu-segitu saja, tapi kalau jumlah yang dikonsumsi dan mengkonsumsi grafiknya terus naik maka bisa hitung sendiri nilai keekonomiannya. 

Lalu yang rugi siapa? Pertama jelas diri sendiri, para pecandu rokok yang akan terkena kantong kering dan menderita berbagai penyakit. Setelah itu siapa? Ya keluarga dan orang terdekat. Rugi karena menjadi korban, dibuat menjadi perokok pasif yang bahayanya tak kalah horror dibanding perokok aktif. Rugi karena pemasukan keluarga yang seharusnya bisa digunakan untuk pemenuhan gizi keluarga habis sia-sia untuk nikmat sesaat.. 

Perempuan pulalah yang sering menjadi korban karena banyak kepala rumah tangga yang tak memberi uang belanja cukup untuk kebutuhan harian. Bahkan dari diskusi Ruang Publik serial #RokokHarusMahal hari itu saya mendengar langsung testimoni dari masyarakat. 

Kepada pendengar Diskusi Ruang Publik KBR.id, Pak Bayu dari Cirebon menceritakan bagaimana akhirnya keluarga kakak Iparnya hancur karena rokok. 


Kakak ipar saya itu setiap hari marah-marah aja, sama suaminya karena setiap hari merokok. Padahal gajinya gak seberapa lah, sangat kecil, sehari tuh Rp. 20.000.00. harga rokok di Indonesia kan Rp. 20.000.00 lah satu bungkusnya. Jadi setiap hari marah-marah saja, akhirnya udah bubar sih, sudah cerai, gara-gara rokok itu. 

Kakak Ipar Pak Bayu dari Cirebon, tentu saja hanyalah satu kisah saja. Saya yakin di luar sana banyak perceraian dan kekerasan rumah tangga yang terpicu karena rokok. Bahkan, karena rokok pula seringkali orang tua rela memukul anaknya. Jadi masihkah kita mau berdiam dan membiarkan peredaran rokok makin merajalela? 

Bagi saya, membuat Rokok harus mahal adalah salah satu solusi efektif. Dan perempuan, harus mendukung rokok harus mahal karena empat hal

1. Karena perempuan adalah manajer dalam mengelola keuangan rumah tangga. Bila konsumsi rokok bisa dicoret dari daftar pengeluaran, maka akan lebih banyak hal positif yang bisa dialokasikan dari belanja keluarga

2. Karena perempuan adalah penggerak. Perempuan punya power untuk mendorong seluruh anggota keluarga untuk sehat dan terbebas dari bahaya rokok

3. Karena perempuan adalah lentera di rumah tangga. Yang bisa memberi pengaruh dan ‘memaksa’ seluruh anggota keluarga untuk berhenti merokok.

4. Karena perempuan Indonesia adalah juara, yang jumlahnya tak terkira, yang bila bersatu menyuarakan #RokokHarusMahal akan menggetarkan nusantara


    Berapa harga rokok yang pantas? 


    Dengan tegas saya akan bilang, bahwa rokok harus di atas Rp 100 ribu rupiah. Angka ini menurut saya masih jauh lebih kecil dibanding kerusakan yang ditimbulkan. Namun untuk sekarang, paling tidak bila rokok sudah dihargai minimal Rp50 ribu per bungkus bagi saya sudah cukup untuk permulaan. 

    Dengan harga #Rokok50ribu paling tidak orang akan berpikir ulang untuk membeli rokok. Dan selama masa jeda dan berpikir itu semoga mereka menemukan ilham, bahwa hidup akan baik-baik saja meski tidak merokok. Secara berangsur ketergantungan akan rokok pun akan menurun. 

    Bila rokok mahal bagaimana nasib petani tembakau Indonesia? Hmmm… inilah dagelan yang sering dibawa setiap kali bicara soal rokok. Politisasi nasib petani untuk kepentingan industri rokok. 

    Nyatanya, apakah petani tembakau kita saat ini sudah sejahtera? Apakah para pelaku industri menghargai hasil tembakau petani Indonesia dengan harga yang pantas. 

    Dalam beberapa pertemuan dengan beberapa petani tembakau saya sering mendengar cerita bahwa mereka sering ditekan para pengumpul daun tembakau. Alasannya, produksi tembakau petani tidak bagus dan tidak berkualitas. Ya memang, sebenarnya kalau dipikir, tanah dan musim di Indonesia tidaklah terlalu bagus untuk tanaman tembakau. 

    Bila harga rokok dinaikkan, pemerintah bisa membantu petani eks tembakau untuk beralih menanam tanaman lain yang lebih cocok dan lebih bernilai ekonomi. Dan kalaupun tetap ditanam tembakau, bukankan rokok bukanlah satu-satunya produk  industri hilir berbahan baku tembakau. Berbagai penelitian menyebut Tembakau sangat bagus untuk kosmetik dan kebutuhan rumah tangga. Kenapa kita tak mendorong pemerintah untuk menyiapkan industri diversifikasi produk olahan tembakau. 

    Dan fakta lain, bahwa bahan baku utama produksi rokok dalam negeri bukan berasal dari tembakau petani lokal. Sebanyak 60 persen bahan baku rokok adalah impor dari Cina dan Brazil. Jadi, masihkah kita berpikir bahwa menaikkan harga rokok akan mematikan petani tembakau dalam negeri. 

    Ah…. Lagi-lagi membahas rokok seperti mengurai benang kusut. Pelik dan susah. Tapi bukan berarti tanpa penyelesaian. Yang penting, semangat dan keyakinan bersama bahwa kita bisa bebas dari rokok. 


    Yuk mari bersama Dukung #RokokHarusMahal
    #Rokok50ribu

    :-) 







    Sunday, 6 May 2018

    Sebuah Catatan di Hari Konsumen : Kenapa Harus #BeliyangBaik




    "Dek, beli yang "jelas" saja. Untuk keluarga harus berikan yang terbaik," ujar suami suatu kali.

    * * *

    SETIAP kali belanja di supermarket, saya selalu terkesima dengan jor-joran diskon berbagai produk. Salah satu yang tak pernah luput dari perhatian adalah parade diskon berbagai merek minyak goreng. Satu rak, bahkan dua rak yang disediakan toko retail habis untuk memejeng minyak goreng diskon itu.

    Pekan ini diskon besar diberikan minyak goreng merek A. Pekan depannya lagi minyak goreng merek B. Selalu saja bergantian merek yang menjadi jawara. Mayoritas pembeli tentu tertarik dan berebut memasukkan minyak termurah ke dalam troli belanja.

    Tapi tak semua merek larut dalam pesta. Dalam pengamatan saya ada beberapa merek yang harganya stabil. Kalaupun ada diskon biasanya tak jauh dari harga normal. Ke rak inilah biasanya kami berlabuh dan menyambar dua bungkus minyak 2 liter untuk kebutuhan bulanan keluarga kecil kami.

    Sebenarnya, dulu saya termasuk rombongan ibu-ibu pemburu minyak goreng diskon. Tapi ya itu dulu, sebelum saya dicolek suami.

    "Dek, beli yang "jelas" saja. Untuk keluarga harus berikan yang terbaik," ujar suami suatu kali saat saya tergoda membeli minyak juara diskon.

    Saya sempat ngotot waktu itu. Alasannya membeli sang jawara membantu menekan pengeluaran bulanan kami. Hihi... :-) Tapi suami memberi argumentasi yang saya kira masuk akal sehingga terpatri di otak hingga kini.

    "Coba Adek bayangkan. Bagaimana mereka bisa menekan harga begitu jauh dari harga normal. Kalau tak kualitasnya turun, bisa juga biaya produksi yang dipangkas. Salah satunya menurunkan standar bahan baku," ujar suami lagi.

    Buah sawit baru dipanen

    Soal standar produksi, salah satu isu yang jadi sorotan adalah produksi produk sawit yang tak lestari seperti;

    • Diolah dari sawit yang ditanam pada tanah hasil merambah hutan alam
    • Kebun sawit di lahan gambut dalam
    • Ditanam di atas lahan hasil  membakar hutan
    • Ditanam di kebun yang tak memperhatikan keanekaragaman hayati.
    Argumentasi suami ini jelas belum terbukti. Tapi saya juga tak punya sanggahan atas itu. Jadilah troli kami jarang mampir ke rak jawara diskon lagi.  Menurut kajian WWF Indonesia, dengan mengkonsumsi 1 liter minyak goreng lestari, berarti turut mendorong pertumbuhan 2-3 meter persegi kebun sawit yang lestari. 

    Harus diakui tak mudah bagi kami mencari minyak goreng "jelas". Apalagi saat ini belum ada produk lokal yang memakai logo standar untuk menentukan minyak goreng layak; semacam logo halal lingkungan.

    Untuk produk sawit logo 'halal' itu berasal dari RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang berlaku internasional. RSPO adalah asosiasi yang terdiri dari para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit. RSPO mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan.


    Pemerintah Indonesia pun sebenarnya juga punya label sendiri dengan mengusung skema komplementer melalui ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil). Kenyataannya, produk berlabel "halal" ini belum tersedia di pasar lokal.

    Karena tak ada label RSPO ataupun ISPO, selama ini kami hanya berpatokan pada track record perusahaan produsen. Kami berprasangka baik saja bahwa perusahaan yang sudah mengantongi label RSPO untuk minyak goreng ekspor juga memproduksi minyak goreng untuk konsumsi lokal dengan standar sama.

    Mungkin saja prasangka kami keliru. Bisa saja produk lokal dibuat jauh di bawah standar produk eskpor untuk menyeimbangkan biaya produksi. Entahlah. Paling tidak kita bisa mengacu pada daftar perusahaan ramah lingkungan.

    Ragam produk turunan sawit

    Minyak goreng sebenarnya bukanlah satu-satunya produk olahan sawit yang kita gunakan. Lebih dari 50 persen kebutuhan rumah tangga juga berbahan baku sawit. Aneka makanan, kosmetik, margarin, produk farmasi, sampo, sabun, deterjen, pasta gigi hingga campuran bahan bakar.


    Kenapa Harus #BeliYangBaik

    Membiasakan diri untuk mem-#BeliYangBaik tak hanya berguna bagi keluarga semata. Puluhan juta orang yang terdampak akibat pengelolaan perkebunan sawit tak lestari akan terbantu.

    Ketika kabut asap menutupi langit sebagian besar Pulau Sumatera dan Kalimantan, orang beramai-ramai menyalahkan lambatnya antisipasi pemerintah memadamkan api. Ada pula yang mengumpat perusahaan sawit yang dituding membakar hutan. Atau bahkan menyalahkan Tuhan karena memberi mereka kehidupan di tanah gambut yang mudah terbakar.

    Ayolah! Tanah gambut itu sudah ada sejak puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Tapi fenomena kabut asap baru ada setelah industri sawit booming dua dekade lalu. Itu artinya ada yang salah dengan pengelolaan perkebunan sawit kita. Eits. Jangan pula buru-buru mengklaim bahwa ini semata kesalahan industri sawit. Sebagai konsumen, apakah kita peduli?

    Berdasarkan survei yang dilakukan AC Nielsen dan WWF Indonesia pada Juni 2013, kesadaran konsumen Indonesia untuk menggunakan produk ramah lingkungan sangat rendah. Dari survei yang dilakukan di lima kota besar; Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Semarang belum ada 50 persen konsumen yang peduli.

    Ketidakpedulian ini kemudian diartikan produsen sebagai tak adanya permintaan pasar sehingga mereka tak perlu menyertakan label ramah lingkungan pada produk sawit di pasaran lokal. Buktinya, ketika pasar Eropa dan Amerika mewajibkan menyertakan label ramah lingkungan mereka bisa memenuhinya.

    Grafis konsumsi dan produksi sawit dunia

    Saya percaya, semakin banyak konsumen menerapkan #BeliYangBaik, akan semakin banyak pula perusahaan yang peduli. Apalagi Indonesia merupakan lima besar negara dengan jumlah pengguna minyak sawit dan turunannya di dunia.

    Tak hanya manusia. Mem-#BeliYangBaik juga akan menyelamatkan beraneka makhluk yang terganggu akibat budidaya sawit yang serampangan. Bila hutan lindung tak dialihfungsikan secara sembarangan tak akan ada berita gajah dan harimau masuk kampung.

    Bila lahan tak dibakar, tak akan terdengar lagi raung kesakitan orang utan yang terbakar. Dan bila sungai-sungai tak lagi dimuntahi limbah pupuk dan pestisida, tak akan ada lagi spesies ikan yang hilang.

    Yuk Minta Produk #SawitYangBaik

    Pelajaran dari membeli minyak goreng ramah lingkungan tentu saja harus diteruskan dengan selektif membeli produk lain. Sayangnya lagi-lagi saya tak punya banyak pilihan. Karena itu saya tak mau ketinggalan  bergabung dengan jutaan orang lainnya menyuarakan pada para produsen agar segera menyediakan produk sawit lestari.

    Tak hanya saya, kita semua juga bisa menyuarakannya dengan turut menandatangani petisi #BeliYangBaik yang digagas WWF-Indonesia di Change.org. Petisi ini  kita harapkan bisa mendobrak kesadaran banyak kalangan; pengambil kebijakan, produsen, termasuk kita sebagai konsumen. Dengan begitu seluruh keluarga di dunia akan mendapatkan konsumsi yang terbaik untuk hidup yang lebih baik pula.



    Referensi tulisan:
    http://www.beliyangbaik.org/
    http://www.rspo.org/consumers/about-sustainable-palm-oil
    http://www.wwf.or.id

    Friday, 2 March 2018

    Lukisan Kanvas Dua Wajah
















    “Amak ingin punya foto yang dilukis.”


    Ucapan itu selalu terngiang saat saya melihat sebuah amplop yang terselip di antara dokumen penting di rak buku. Amplop itu berisi foto dengan gambar seorang perempuan dan lelaki muda. Foto yang kini seharusnya  jelma menjadi lukisan; sebuah lukisan kanvas dua wajah. 

    Setiap kali saya membuka amplop, perempuan dalam foto akan menyunggingkan senyum damai. Senyum yang selalu membuat saya kuat. Senyum yang memberi kehangatan di saat saya tengah lemah. 

    Perempuan itu, yang memakai baju kurung merah muda dengan selendang di kepalanya adalah Amak. Ibu yang melahirkan, dan membesarkan saya. Ibu yang padanya saya temukan kedamaian. Ibu yang selalu membuat saya rindu. Rindu untuk pulang.


    foto yang ingin dilukis

    ***


    Lima tahun lalu, saat saya pulang kampung untuk pertama kali setelah setahun bekerja di Jakarta Amak pernah menyampaikan sebuah keinginan.

    "Mak ingin punyo foto yang dilukis," ujar Amak saat kami tengah bercengkerama di ruang keluarga.

    Amak lalu meminta saya mencari tahu tempat pembuatan lukisan kanvas. Menurut Amak, di Jakarta ada banyak pelukis wajah. Namun, setelah pembicaraan hari itu Amak tak pernah lagi menyinggung soal itu. Termasuk ketika saya pamit untuk kembali ke Jakarta.

    Saya bisa memahami kenapa Amak sampai sekarang tak pernah bertanya. Amak mungkin tak mau keinginan itu menjadi beban. Atau mungkin karena Amak tak mau meminta. Entahlah. Yang jelas niat untuk membuatkan sebuah lukisan kanvas dua wajah sudah bulat di dada.

    Sebelum berangkat, saya mencari foto yang pas. Saya menemukan sebuah foto yang diambil saat Amak dan Abak baru menikah. Saya berharap daur ulang foto itu menjadi lukisan dua wajah akan menjadi hadiah manis menemani hari-hari Amak dan Abak di rumah.  Apalagi sekarang, di kampung Abak dan Amak tinggal berdua saja. Kami empat bersaudara tinggal di kota yang berbeda. 

    selalu bersama


    Begitu sampai di  Jakarta, segera saya menuju Blok M Square. Saya ingat pernah melihat beberapa pelukis di sana. Setelah berkeliling saya menemukan pelukis yang cocok. Tapi yang terjadi berikutnya sungguh di luar perkiraan. 

    Bapak pelukis menyebutkan harga yang tak saya sangka. Untuk satu lukisan sebesar kertas A4 biaya terendah Rp800 ribu. Sedangkan ukuran A3 seperti yang saya rencanakan biayanya lebih dari sejuta. 

    Bagi saya yang waktu itu hanya bergaji sedikit di atas UMR, uang sebanyak itu amatlah besar. Sungguh. Saya amat ingin membuatkan Amak sebuah lukisan. Tapi sebagai pekerja biasa, membelanjakan uang untuk lukisan baru menjadi prioritas kesekian dalam neraca keuangan saya.

    Saya lalu bertanya pada pelukis lain. Hasilnya tak jauh berbeda. Sampai akhirnya saya menyerah dan pulang dengan tangan kosong. 

    Sesampai di kos, foto itu saya simpan dalam amplop. Saya berharap segera punya rezeki lebih untuk membuat lukisan kanvas. Namun, hingga hari ini, foto itu masih duduk manis di tempat semula. 

    ***

    Saat ini saya berencana mewujudkan mimpi Amak. Saya ingin memberi Amak lukisan kanvas dengan dua wajah di atasnya. Wajah Amak dan Abak. Semoga bisa menjadi hadiah sekaligus kado pernikahan Amak Abak ke-36 pertengahan Januari nanti.